Grand Guignol : Teater Berdarah dari Akhir Abad 19

Pernah menonton film "Interview With The Vampire" yang diadaptasi dari novel berjudul sama karya Anne Rice? Dibintangi Tom Cruise dan Brad Pitt tentang petualangan dua vampire necis dan "anak" angkat mereka Claudia yang diperankan Kirsten Dunst, film ini merupakan salah satu favorit saya dan merupakan salah satu film yang membuat saya terpukau terhadap vampire dan gothic imagery itu sendiri. Dalam salah satu scene dimana Louis dan Claudia pindah ke Paris dalam harapan mereka untuk menemukan makhluk sejenis mereka, Louis yang disapa oleh Armand, yang diklaim sebagai vampire tertua yang masih hidup di saat itu, diberi sebuah kartu nama bertuliskan "Le Theatres des Vampires" yang merupakan tempat berkumpulnya klan vampire dalam kedok penyamaran sebagai teater horror. Mereka berpura-pura menjadi manusia yang berpura-pura memerankan vampire, dan merupakan tempat utama berkumpulnya vampire di Paris.

Salah satu adegan di film "Interview with the Vampire" yang menggambarkan suasana panggung Theatres Des Vampires, dimana para Vampire berpura-pura sebagai manusia yang berpura-pura menjadi vampire.
Photo Credit : Warner Bros / Geffen Pictures
Sumber
Tempat yang hampir sama ternyata benar-benar ada. Sebuah teater horror ( atau mereka menyebutnya shock theatre ) yang berlokasi di daerah Pigalle, Paris, Perancis,  yang beroperasi sekitar abad 19 akhir sampai era PD II bernama : Le Théâtre du Grand-Guignol atau bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah Teater Boneka Besar. Sebuah Teater yang menspesialisasikan dalam pertunjukan horror berdarah-darah. Dikatakan bahwa Teater ini menyuguhkan pertunjukan yang bernuansa terror dengan adegan-adegan gory, yang saking realistiknya bisa membuat penontonnya muntah atau pingsan.

I. Le Théâtre du Grand-Guignol 

Teater Grand Guignol adalah sebuah teater kecil di Paris yang saking terkenalnya memiliki semacam cult status. Berdiri tahun 1894 atas prakarsa Oscar Metenier, seorang penulis dan sekertaris kepolisian, yang mengubah sebuah kapel yang tidak digunakan sebagai gedung pertunjukan kecil-kecilan, dengan hanya berisi 293 kursi, yang diklaim sebagai venue terkecil di seluruh Paris.

Teater Grand Guignol
Credit : Hans Wild / Getty Images
Sumber

Mengingat fungsi sebelumnya sebagai sebuah kapel, maka jejak-jejak arsitektur khas gereja akan sangat terasa.  Misalnya box tiket yang menyerupai tempat pengakuan dosa, serta ciri khas elemen arsitektur Gothic pada dinding, jendela, dan lain-lainnya. Ciri khas arsitektur tersebut justru menjadi strategi marketing yang tepat untuk mempromosikan Teater tersebut, mengingat nuansa yang ditimbulkan seakan seram mulai dari pintu masuk.

Teater ini terletak di daerah yang diberi nama "Quartier Pigalle". Daerah tersebut sudah lama terkenal akan kevulgaran hiburan dewasanya, dan merupakan salah satu tempat wisata di Paris. Toko-toko yang menjual alat-alat kebutuhan seksual berjajar, terdapat juga teater-teater, dan pertunjukan dewasa lainnya. Reputasi yang demikian menciptakan istilah sebutan baru untuk tempat tersebut, Pig Alley, atau Gang Babi pada masa PD II. Daerah tersebut juga terkenal dengan adanya nama-nama teater kabaret seperti Moulin Rogue dan Divan du Monde, serta Museum Seks (  Musée de l'érotisme ).

Kaitan atmosfir erotis tempat tersebut dan Teater Grand Guignol agaknya berpengaruh. Satu hal yang cukup menarik tentang Grand Guignol adalah disewakannya tempat-tempat yang menyerupai kabin kotak kecil di bawah balkon, yang dulu digunakan biarawati untuk menyaksikan kegiatan pelayanan ibadah, sebagai tempat berbuat mesum ( if you know what I mean .. LOL ). Ini dikarenakan bahwa atmosfir pertunjukan dikatakan membuat beberapa orang mengalami sensasi yang kuat, bahkan merasa terangsang. Tak jarang para aktor terpaksa berteriak untuk memperingatkan agar "penghuni kabin" tidak membuat suara ribut karena akan mengganggu suasana pertunjukan.

Kabin yang disewakan, berada dibawah balkon
Credit : Hans Wild / Getty Images

II. Oscar Metenier dan Pengaruh Naturalisme

Oscar Metenier, sang pendiri sekaligus sutradara Teater Grand Guignole adalah seorang penulis yang sangat terinspirasi oleh aliran seni Naturalisme: Sebuah aliran seni yang berusaha menjabarkan ilusi kehidupan secara sempurna. Kebanyakan dari karya tulis dan drama nya terinspirasi dari kenyataan-kenyataan pahit Kota Paris itu sendiri : Prostitusi, kriminalitas, anak jalanan, kerusakan moral, kengerian, rasisme, kotoran, wabah penyakit, dan lain sebagainya. Pekerjaannya disamping sebagai sutradara dan penulis ialah seorang sekretaris untuk komisaris polisi, yang memungkinkannya untuk lebih leluasa dalam mengobservasi dunia gelap kriminalitas Kota Paris secara mendetil.

Potret diri Oscar Metenier.
Sumber : Wikipedia

III. Pertunjukan


Teater Grand Guignole menyuguhkan pertunjukan yang original dan berkesan mendalam ( terlebih bila cipratan darah mengenai bajumu dan kau melihat seseorang dibantai secara langsung.. ). Intensitas adegan yang diramu sedemikian rupa dengan special effect yang mendekati nyata membuat penonton benar-benar merasakan kengerian yang kental. Adegan-adegan seperti pencungkilan bola mata, operasi, pembunuhan, dan adegan lain yang membutuhkan banyak.. banyak.. banyak sekali darah palsu untuk "menjamu" para pemirsa langsung. Pentas tersebut dilengkapi dengan penambahan elemen melodramatis, yang juga sering menyuguhkan pesan tentang kerusakan moral, dendam, dan pesan seperti bahwa kejahatan tidak memerlukan motif yang kompleks untuk dapat terjadi. 

Salah satu poster promosi Grand Guignol
Sumber: wikipedia
Brutalnya adegan dan kesempurnaan efek panggung memunculkan banyak reaksi oleh penonton, walau lebih sering berupa muntah-muntah dan pingsan. Sebenarnya tersedia dokter dan tenaga medis yang bersiaga untuk menolog penonton-penonton yang malang tersebut. Namun bukan berarti mereka juga tahan terhadap kengerian yang ditawarkan Grand Guignol. Seorang asisten dokter malah pingsan terlebih dahulu pada suatu kesempatan.

Salah satu adegan "cungkil mata".
Credit : Hans Wild / Getty Images
Banyak nama yang terlahir dari reputasi brutal dan mengerikan dari teater ini. Kengerian dan kekentalan elemen berdarah-darah semakin intense setelah Oscar Metenier mengalihkan jabatan sutradara dan teaternya pada Max Maurey, yang kemudian menemukan Andre de Lorde, salah seorang penulis Grand Guignol paling terkenal yang memiliki julukan "Pangeran Teror". Paul Ratineau, dalang dibalik suksesnya efek panggung yang mendekati nyata. Paula Maxa, sang aktris yang sering memerankan peran korban. Karakter yang diperankan Maxa sangat sering berakhir tragis dalam kematian mengerikan, total mati sebanyak lebih dari 10.000 kali dan diperkosa sebanyak 3.000 kali.

IV. Penutupan Teater dan Pengaruh Terhadap Budaya Populer

Saat teater dalam penanganan Jack Jouvin popularitasnya mulai memudar. Tema horror dan gore yang sebelumnya sangat dominan dibawakan di teater tersebut berangsur menjadi Drama Sikologis. Keadaan ini diperparah dengan pecahnya PD II, yang membayang-banyangi kepopuleran topik Grand Guignol, menyuguhkan realita nyata bahwa apa yang mungkin mereka pikir tidak akan terjadi di dunia nyata akhirnya terjadi.

Sutradara terakhir Grand Guignol, Charles Nonon, menyatakan "Kita tidak akan pernah bisa menyamai Buchenwald ( sebuah kamp konsentrasi milik Nazi ), Sebelum perang pecah semua orang merasa bahwa apa yang terjadi si atas panggung adalah sesuatu yang tidak mungkin. Sekarang kita tahu, bahwa hal ini, dan hal-hal lain yang lebih buruk, adalah mungkin terjadi dalam kenyataan".

Teater Grand Guignol akhirnya tutup pada tahun 1962, karena semakin sedikitnya penonton yang datang.

Pengaruh Grand Guignol berdampak juga terhadap budaya populer. Istilah Grand Guignol sendiri akhirnya digunakan untuk menyebut hiburan dramatis penuh darah, kegilaan dan kebrutalan. Begitu juga dengan film-film horror karya studio Hammer yang agaknya terinspirasi dari konsep Teater Grand Guignol. Lalu ada juga tren film horror penuh darah di era 70an dengan fim seperti Texas Chainsaw Massacre, penuh kekerasan dan intensitas. Karya musikal Stephen Sondheim, "Sweeney Todd : The Demon Barber of Fleet Street" juga patut diberikan perhatian, berbasis dari cerita pendek dari seri Penny Dreadful yang kemudian belakangan difilmkan oleh Tim Burton, dibintangi Johnny Depp dan Helena Bonham Carter.

Sebagai penutup, berikut saya cantumkan beberapa gambar tentang Grand Guignol. Mayoritas diambil dari Getty Images, Life.com, wikipedia dan sumber - sumber lainnya. Selamat "menikmati" ;)

With Love and Dementia,


SATURNUS.












Tidak ada komentar:

Posting Komentar